Allah 'Azza wa Jalla berfirman :"Itulah (kebahagiaan) negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan tinggi di bumi ini dan tidak berbuat kerusakan (QS 28 : 83).
Nabi saw. bersabda :
"Cinta harta dan kedudukan dapat menumbuhkan sifat munafik di dalam hati seperti air menumbuhkan sayur mayur".
"Dua serigala buas yang dilepaskan di kandang domba tidaklah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada cinta harta dan kedudukan terhadap agama seorang muslim".
Ada banyak orang yang kusut masai, berdebu, berpakaian compang camping, dan tidak diperhatikan oleh orang lain, tetapi jika dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan memenuhi sumpahnya".
"Sesungguhnya para penghuni surga adalah orang-orang yang kusut masai, berdebu, berpakaian compang-camping, dan tidak diperhatikan orang. Jika mereka meminta izin untuk bertemu para penguasa, pasti mereka tidak akan diberi izin. Jika mereka melamar wanita, pasti lamaran mereka tidak akan diterima, dan jika mereka berkata, orang-orang tidak mau memperhatikannya. Kebutuhan salah seorang dari mereka bergemuruh di dada mereka. Jika cahaya mereka dibagikan kepada seluruh manusia pada hari kiamat, niscaya akan mencukupi seluruhnya".
Kedudukan itu bermakna tinggi hati, kesombongan, dan kemuliaan, yang semua ini adalah sifat-sifat Ilahiah yang disukai manusia berdasarkan tabiatnya. Bahkan ini merupakan sifat yang amat disukai manusia. Dengan sifat Ilahiah inilah, manusia selalu berkeinginan untuk menguasai segala sesuatu yang ada di sekitarnya, harta, kedudukan, dan bahkan ilmu pengetahuan, karena mereka itu berkaitan erat dengan keagungan dirinya. Kesempurnaan ketiganya menaikkan derajatnya dimata orang lain, sehingga orang-orang akan memuji dan memujanya.
Karena hal itu merupakan sifat Ilahiah (qadrati - pen), maka kenapa mencari kemuliaan itu tercela ? Keluhuran derajat yang hakiki yang dicari banyak orang terpuji tidaklah tercela, sebab semua tujuannya adalah kedekatan kepada Allah Ta'alla. Yaitu keluhuran dan kesempurnaan yang tidak mengandung kehinaan, kekayaan yang tidak dibarengi oleh kefakiran, keabadian yang tiada akhir, dan kenikmatan yang tidak ada celanya. Mencarinya adalah terpuji, yang tercela adalah mencari kesempurnaan semu dan bukan yang hakiki. Kesempurnaan yang hakiki berdasarkan pada ilmu, kebebasan, dan kemampuan yang tidak dibatasi oleh yang lainnya. Dan tidak akan terbentuk pada seorang hamba suatu hakikat kemampuan karena kemampuannya hanya terwujud oleh kekayaan dan kedudukan. Itulah kesempurnaan yang semu karena ia adalah sementara, yang tidak memiliki keabadian. Dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang tidak memiliki keabadian. Semua itu akan berakhir seiring dengan kematian.
Kesempurnaan yang hakiki adalah kebaikan yang dicapai karena kedekatan kepada Allah SWT, karena hanya Dialah yang memiliki keabadian, tidak yang lain.
Sering orang yang pintar dan banyak ilmunya memandang bahwa kebaikan yang telah ia perbuat pada orang lain semata-mata karena kreativitas keilmuannya, karena memang ia seorang jenius. Seorang yang berlimpah harta merasa bahwa orang yang ada di sekitarnya, nafkahnya bergantung padanya. Seorang pejabat merasa bahwa banyak orang membutuhkan pertolongannya karena jabatannya yang tinggi. Bahkan seorang ulama yang terpandang dapat saja mempunyai perasaan bahwa orang disekitarnya tidak dapat menjalankan agamanya kecuali telah bertanya padanya. Begitulah kesempurnaan semu membuat seseorang melupakan ketidakabadiannya. Mereka sering lupa bahwa hakikatnya Allah-lah yang telah membuatnya berkemampuan lebih dari orang lain.
Allah SWT telah menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud a.s, "Wahai Dawud, Aku adalah temanmu yang tak bisa kau hindari, maka tetaplah bersama Temanmu".
Kesempurnaan sejati adalah ilmu dan kebebasan, karena mereka adalah bekal yang baik (al-baaqiyaatush shaalihaat). Kebebasan yaitu terputusnya hubungan dengan seluruh ketergantungan duniawi, bahkan dari seluruh hal yang akan berpisah darimu karena kematian dan hanya cukup memberi perhatian kepada yang tidak bisa engkau hindarkan darinya, yaitu Allah Ta'ala.
Ambisi dan kedudukan lebih dekat pada sifat buruk dari penyakit hati, takabur, sombong, riya, dan selanjutnya dapat menimbulkan perbuatan jahat yang lebih nyata. Kedudukan di dunia ini bersifat semu karena bersifat sementara, bahkan ia bisa hilang sebelum kita mati. Ia merupakan tempat yang disukai para pembisik kejahatan, yaitu syetan dalam berbagai bentuk kewujudannya. Maka ambisi dan kedudukan duniawi tidak layak dijadikan tujuan pencapaian orang-orang yang merindukan pertemuan dengan Allah Ta'ala, Sang Pencipta dari segala kesempurnaan. Berambisilah hanya untuk mencari kedudukan dihadapan Allah, bukan dihadapan manusia, karena hanya dengannya kita memperoleh kesempurnaan kebahagiaan yang hakiki.
Semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan pada kita semua akan kesemuan dunia dan kesempurnaan akhirat, pada setiap tarikan nafas kita, pada setiap kedipan mata kita, pada setiap ucapan mulut kita, pada setiap suara yang kita dengar, pada setiap makanan dan minuman yang memasuki mulut kita, pada setiap wewangian yang masuk di hidung kita, dan pada setiap senti ruang yang kita lalui. Subahanallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar