Jumat, 29 Januari 2010

100 Hari Pemerintahan SBY - 2 Versus Demonstrasi.

Sejak era reformasi, kata 100 (seratus) hari kinerja pemerintahan mulai digaungkan untuk menilai kesiapan pemerintah yang baru menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia ini. Seratus hari, tiga bulan lebih sepuluh hari, waktu yang cukup untuk menentukan arah kerja yang pasti.

Kali ini, pemerintahan SBY jilid 2 (Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II) mendapatkan sorotan amat keras atas penilaian kinerja 100 hari kinerja kabinetnya. Hampir seluruh kota besar diwarnai kericuhan demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan berbagai ormas. Berbagai kalangan telah mendahului kondisi ricuh ini dengan berbagai penilaian negatif terhadap kinerja kabinet kali ini. Silahkan simak kedua tautan menarik di bawah ini : 
  1. Indonesians protest SBY government's first 100 days.
  2. 100 Hari Kinerja Pemerintahan SBY - Boediono Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2
Mari kita lihat kondisi sebelum kabinet jilid II ini terbentuk. Diawali dengan berbagai tuduhan miring terhadap kubu partai Demokrat saat Pemilu dan Pilpres. Berbagai tuduhan kecurangan diekspos berbagai kalangan dari kubu lawan, sampai terakhir kubu Prabowo (+Megawati) berteriak keras atas sinyalemen kecurangan SBY dkk. Dari sini, sudah terlihat bibit-bibit ketidak senangan atas kemenangan kubu SBY. Secara perlahan kondisi panas ini mereda, dingin dengan sendirinya menjelang pelantikan SBY dan Boediono. Pada saat ini pula, kasus Antasari dan kasus lainnya sedang bergulir yang juga dikait-kaitkan dengan kinerja pemerintahan. Eksistensi KPK yang merupakan salah satu "senjata politik" terus diguncang. Dalam hal ini banyak kalangan mendukung eksistensi KPK sebagai pasukan pemberantas korupsi yang belum ada tandingannya.


Setelah kemenangan pasangan SBY - Boediono, kembali sorotan tajam ditujukan pada penyusunan kabinet. Pilihan SBY - Boediono atas beberapa menteri "muda" yang dinilai kurang capable untuk mengurusi kemelut di negeri ini. SBY secara bijak menjelaskan bahwa pilihannya merupakan pilihan yang terbaik yang bisa didapatkan saat itu. Entah terbaik untuk negara atau terbaik untuk kubunya, atau terbaik untuk keduanya. Bagaimanapun, dalam sebuah team (yang mengurusi negara !) dalam tatanan politik yang selalu panas, kepercayaan antar anggota team merupakan hal yang paling penting. Kapabilitas denga terpaksa dijadikan nomor urut 2. Lumrah juga, karena tidak mungkin sebuah team dapat bekerja dengan baik kalau anggotanya saling berbantahan (hal ini pernah terjadi pada kabinet pemerintahan Indonesia sebelumnya kan ?).


Menjelang hitungan 100 hari, Kasus Bank Century merupakan puncak dari isyu politik yang sangat menggoncang eksistensi kabinet SBY - Boediono. Apalagi Boediono dan Sri Mulyani sebagai anggota kabinet utama termasuk dalam tokoh utama kasus tersebut. Agak sedikit lucu, ketika berbagai media lebih suka mengulas peran Boediono dan Sri Mulyani dalam pencairan dana 6,7 triliyun daripada mengulas proses penyelamatan uang negara yang telah tersebar di berbagai rekening internasional. Bahkan yang terakhir ini samasekali tidak terdengar, padahal itu menyangkut hak para nasabah dan masyarakat Indonesia umumnya. Inilah yang saya kira telah terjadi sejak reformasi bergulir, kepentingan politik menggulung kepentingan rakyat yang sebenarnya. Bukan hanya itu, kasus buku Gurita Cikeas juga sempat mencuat kencang menambah keraguan banyak pihak atas kejujuran pasukan SBY.

Sementara itu juga, di berbagai sudut negeri ini, gerakan mahasiswa dan ormas pemuda terus berteriak agar 2 anggota kabinet diberhentikan dari jabatannya. Teriakan mereka begitu yakin akan kesalahan pemerintah melalui kedua tokohnya atas kasus Century. Apakah mereka memang memiliki serangkaian data atau informasi yang dapat dipercaya ? Atau jangan-jangan mereka bergerak atas dasar kecurigaan yang besar ? Mungkin yang lebih mendekati adalah tekanan ekonomi di lapisan bawah yang semakin terasa berat.


Bagaimana sebenarnya dengan kondisi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini ?. Secara nasional, sebenarnya kondisi ekonomi Indonesia sudah mulai stabil. Tingkat pertumbuhan ekonomi kita berada pada angka 6,8 sedangkan tingkat inflasi ada pada angka 6,7 (lihat Kondisi Ekonomi Indonesia Sekarang - februari 2009 disaat Boediono dan Sri Mulyani sudah menjadi penentu kebijakan ekonomi). Angka ini sedikit lebih baik bila dibandingkan jaman kejayaan Soeharto yang memiliki tingkat inflasi sekitar 10% setahun.


Jadi, sebenarnya ada apa dengan semua gejolak ini ? Beberapa pendekatan rasional yang saya kira sangat erat kaitannya adalah :
  1. Sejak reformasi, lumrah jika pada awal suatu pemerintahan mendapat tekanan politik yang berat. Tentu saja lawan politik yang kalah masih diliputi rasa ketidak-puasan. Mumpung suasana masih panas, mereka masih bersemangat untuk terus merongrong, siapa tahu mereka masih bisa "berperan" ikut menyetir negeri ini. Hal ini terlepas dari benar atau tidaknya latar belakang misi mereka dan kondisi pemerintah yang ada.
  2. Kasus Bank Century melibatkan angka 6,7 triliyun rupiah, suatu angka yang luar biasa (bila dibagikan kepada 230 juta penduduk Indonesia, cukup untuk memenuhi kebutuhan beras selama 1/2 bulan).
  3. Tekanan ekonomi di "lapisan bawah" masih terlalu berat, diantaranya karena tingginya tingkat pengangguran (walaupun masih lebih rendah daripada Daratan Amerika dan Uni Eropa saat ini), biaya jaminan kesehatan dan biaya pendidikan, serta rendahnya tingkat pendapatan dibanding standar kebutuhan hidup yang layak.
  4. Sebaran informasi yang jauh lebih terbuka (bandingkan dengan kondisi informasi jaman Soeharto !) yang gencar menayangkan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran pejabat pemerintah. Hal ini sangat menambah tingkat keresahan pada masyarakat, ditambah lagi dengan berbagai komentar miring dari "para ahli / pakar" yang masih laku keras di lingkungan media massa.
Lengkaplah sudah penderitaan pemerintah paska reformasi ini. Kondisi sudah sedemikian rupa, sehingga siapapun presiden dan kabinetnya, mereka senantiasa akan menghadapi tekanan politik seperti sekarang ini. Sebagian besar perhatian para anggota kabinet mau tidak mau akan tersita untuk menghadapi tekanan politik ini. Lalu bagaimana dengan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat bawah ? "Sabar saja.... kita ini orang miskin bisa apa ? hanya bisa menerima keadaan". "Negara ini sudah terlalu banyak yang ngatur, terlalu banyak yang pintar, jadi ya mungkin sampai kapanpun akan begini terus". Sementara itu... korupsi dan pungli di tingkat bawah yang dampaknya langsung dan nyata dirasakan masyarakat terpaksa tertunda terus untuk ditangani. Kesejahteraan pegawai negeri, yang sudah dicanangkan sejak 5 tahun lalu, ikut pula tertunda-tunda, karena dana operasional pemerintah masih tersedot urusan tingkat tinggi ("biaya kompensasi politik" ?). Sialnya lagi, standar pendapatan di sektor swasta pun selalu mengikuti standar pegawai negeri. Padahal relevansi antara tingkat pendapatan yang rendah dengan tingginya tingkat korupsi dan kolusi cukup signifikan.

Akhirnya..... pertanyaan yang masih sering dilontarkan banyak orang adalah : "MAU DIBAWA KEMANA NEGERI INI ?". "MAU SAMPAI KAPAN ?"

Ada pernyataan seorang ulama beberapa tahun yang lalu "Ulama ya konsentrasilah terhadap urusan agama, jangan ngurusin politik. Pelajar belajarlah dengan tekun dan penuh konsentrasi, bagaimana bisa berprestasi kalau lebih suka demo daripada kuliah. Dan seterusnya...". Dengan kata lain jadilah "THE RIGHT MAN ON THE RIGHT PLACE", maka semua urusan bisa diselesaikan dan bisa lebih menyenangkan semua orang.


Bacaan lain yang relevan : 
  1. Outlook Ekonomi Indonesia 2009 - 2014 : Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia 
  2. Daftar Negara Menurut Tingkat Pengangguran 
  3. 2010, Tingkat Pengangguran Masih Tingg
.

Tidak ada komentar:

Beautiful Animals